Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Saat Ekonomi Sulit, Lapak Lebih Berharga Daripada Sarjana

Featured Image

Kondisi Ekonomi yang Menyulitkan Masyarakat

Tahun 2025, dua bulan terakhir ini akan segera berakhir. Namun kondisi ekonomi masyarakat tidak menunjukkan tanda-tanda akan membaik. Harga-harga kebutuhan pokok terus meningkat, membuat hidup masyarakat semakin terasa berat. Peluang kerja dan usaha pun semakin sedikit, menyebabkan banyak orang merasa terjepit.

Banyak orang mencari pekerjaan, tetapi kesulitan menemukannya. Bahkan bagi mereka yang ingin membuka usaha, situasi tidak lebih baik. Sepinya pembeli membuat bisnis sulit berkembang. Semua pilihan terasa sulit, seperti tidak ada jalan keluar.

Seorang tetangga pernah datang berkunjung dan bercerita bahwa bisnis penjualan bajunya mengalami penurunan drastis. Pesanan dari luar kota dan luar Pulau Jawa yang biasanya cukup banyak, kini hanya satu pesanan dalam sebulan. Sahabat lama juga menelepon, bertanya apakah ada peluang pekerjaan untuk anaknya yang sudah lulus sarjana setahun lalu. Anak tersebut telah rajin melamar kerja, namun hingga kini belum mendapatkan tawaran pekerjaan.

Dalam pertemuan keluarga besar, banyak kerabat yang baru saja di-PHK. Ada yang bekerja selama sepuluh tahun lebih, tetapi akhirnya dipecat. Ada juga yang baru bekerja kurang dari dua tahun, tetapi juga mengalami hal yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini sangat tidak stabil.

Data Pemerintah tentang Pengangguran dan PHK

Pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah pengangguran di Indonesia pada Februari 2025 mencapai 7,28 juta orang. Di antaranya, pengangguran bergelar sarjana mencapai 1,01 juta orang. Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan bahwa dari Januari hingga Juni 2025, tercatat 42.385 pekerja yang mengalami PHK. Angka ini lebih tinggi dibanding data tahun 2024 yang mencapai 32.064 pekerja.

Sektor-sektor yang paling terdampak adalah industri tekstil, perdagangan, dan pariwisata. Banyak pabrik tekstil melakukan PHK massal, sementara hotel dan restoran mulai gulung tikar karena kekurangan pembeli. Para pekerja pun akhirnya dirumahkan.

Solusi Berdasarkan Pengalaman Pribadi

Di tengah kesulitan ekonomi ini, banyak orang mencari solusi. Saya sendiri pernah menghadapi tantangan serupa, terutama ketika wabah COVID-19 melanda. Saat itu, semua aktivitas terhenti, termasuk proyek penelitian yang sedang berjalan. Tanpa pendapatan, saya harus mencari cara untuk bertahan hidup.

Akhirnya, saya memutuskan untuk berjualan makanan. Saat itu, usaha makanan menjadi primadona sebagai sandaran ekonomi. Saya memilih pepes ikan mas karena memiliki nilai gizi tinggi yang bisa meningkatkan kekebalan tubuh. Selain itu, persaingan di sektor ini masih rendah.

Mulai Berjualan Online

Produk pepes ikan mas Ma Enin diproduksi sendiri dan dijual secara online. Awalnya, pembeli hanya dari saudara dan teman dekat. Tidak semua orang menyukai rasa pepes ikan mas, terutama karena kurang asin. Namun, dengan waktu, rasa pepes diperbaiki agar lebih lezat.

Dalam dua bulan, penjualan dilakukan melalui media sosial. Namun, setelah tiga bulan, penjualan online mulai jenuh. Akhirnya, kami memutuskan untuk berjualan secara offline.

Gelar Lapak di Tempat Terbuka

Karena wabah COVID-19, berjualan di tempat terbuka sangat sulit. Toko-toko tutup, jam operasional dibatasi. Kami memilih konsep kaki lima dengan mobil minibus sebagai tempat berjualan. Lokasi lapak disurvei, dan akhirnya kami memilih lokasi yang ramai dikunjungi pengunjung pada hari Sabtu dan Minggu.

Setiap Sabtu dan Minggu, kami bangun lapak sejak pagi hari. Pembeli umumnya para orang tua yang mencari makanan untuk makan siang. Generasi muda jarang membeli, karena lebih suka makanan kekinian seperti burger atau pizza.

Tiga Tahun Gelar Lapak

Selama tiga tahun, pepes ikan mas Ma Enin terus berjualan. Target awal kami adalah menjangkau lebih banyak konsumen dan menyewa bangunan permanen. Dengan waktu, produk kami mulai dikenal melalui kunjungan langsung, mulut ke mulut, Google, dan media sosial.

Menjelang Lebaran, kami membuka pre-order untuk pesanan Lebaran. Selama tiga tahun, kami terus menjual secara nge-lapak. Sabtu dan Minggu menjadi hari utama berjualan, bahkan acara sosial dan keluarga tidak lagi diikuti.

Proses produksi pepes memakan waktu lama, tetapi penyajian cepat. Meski tiga tahun berlalu, cita-cita usaha tidak tercapai karena alasan kesehatan. Namun, pengalaman ini menjadi inspirasi dan pembelajaran berharga.