Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KEK Jadi Motor Investasi-Ekonomi RI, Serap 187 Ribu Pekerja per Semester I 2025

KEK Jadi Motor Investasi-Ekonomi RI, Serap 187 Ribu Pekerja per Semester I 2025

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) memegang peran penting dalam peningkatan investasi dan perekonomian di Indonesia. Hal ini karena investasi yang masuk ke dalam KEK juga akan memiliki dampak terhadap sektor industri sampai penyerapan tenaga kerja.

Secara kumulatif, realisasi investasi pada seluruh KEK di Indonesia mencapai Rp 294,4 triliun per semester I 2025. Secara rinci, investasi sebesar Rp 31,6 triliun atau 10,8 persen berasal dari badan usaha tanpa APBN dan sebanyak Rp 262,7 triliun atau 89,2 persen lainnya disumbang oleh para pelaku usaha.

Ekonom INDEF, Eko Listiyanto, menuturkan dengan capaian tersebut, KEK berperan penting dalam pertumbuhan investasi. Terlebih jika semua KEK dapat berjalan dengan baik.

“KEK kalau semua berjalan dengan baik sebenarnya dapat menjadi booster bagi pertumbuhan ekonomi melalui masuknya investasi, pertumbuhan industri, dan penciptaan lapangan kerja layak berkualitas,” kata Eko kepada Seconds.id, Minggu (5/10).

Untuk saat ini, Eko melihat progres dari KEK yang ada sudah berjalan dengan baik. Meski demikian, menurutnya optimalisasi KEK masih terus harus dilakukan. Sementara dari segi investasi, Eko juga menilai KEK di Indonesia sudah banyak diminati oleh investor.

“Di sisi lain, dalam konteks realisasi investasi KEK ini menurut aku masih positif dalam memikat investor, hanya saja tidak semua KEK optimal,” ujarnya.

Dari segi capaian investasi, saat ini KEK Gresik berada di posisi pertama dengan mendapat capaian investasi kumulatif sampai semester I 2025 sebesar Rp 100,85 triliun. Posisi tersebut disusun oleh KEK Kendal yang mendapat capaian investasi kumulatif hingga semester I 2025 sebesar Rp 90,12 triliun.

Pada posisi ketiga terdapat KEK Gelang Batang yang sudah ditetapkan sejak 2017, di sana realisasi investasi kumulatif sampai semester I 2025 sudah mencapai Rp 28,42 triliun. Selanjutnya ada KEK Sei Mangkei yang sudah mendapat realisasi investasi kumulatif hingga semester I 2025 sebesar Rp 24,24 triliun.

Terakhir di urutan kelima terdapat KEK Tanjung Sauh yang sudah mendapat realisasi investasi kumulatif sampai dengan semester I 2025 sebesar Rp 5,55 triliun.

Berdampak pada Perekonomian Daerah

Dari 25 KEK yang ada dari Aceh sampai Papua, 13 KEK bergerak di sektor industri sementara 12 lainnya bergerak di sektor jasa. Sementara dari segi wilayah, KEK tak hanya berfokus pada Pulau Jawa.

Saat ini, 7 KEK berada di Pulau Jawa sementara sisanya berada di luar Jawa.Dengan begitu, KEK juga memiliki andil untuk geliat ekonomi daerah.

“Melalui KEK, daerah punya peluang mendorong masuknya investasi yang lebih besar, namun tidak kalah pentingnya adalah memastikan daerah memang punya inisiatif untuk kompetitif dalam menarik investor khususnya bagi industriawan,” ujar Eko.

Selain itu, jika daerah tersebut merupakan daerah kompetitif, maka dampak keberadaan KEK terhadap perekonomian daerah juga bisa lebih terasa.

“Kalau daerah kompetitif seperti memiliki ICOR (Incremental Capital Output Ratio) rendah, SDM tersedia, dan punya KEK maka implikasi KEK bagi ekonomi daerah akan lebih besar,” ujarnya.

Di berbagai daerah, KEK juga memiliki serapan tenaga kerja yang cukup signifikan. Capaian serapan tenaga kerja kumulatif seluruh KEK di Indonesia sampai semester I 2025 sudah mencapai 187.376 orang.

Adapun jika diambil lima KEK yang menyerap tenaga kerja terbanyak, KEK Kendal berada di posisi pertama dengan serapan kumulatif sampai semester I 2025 sebanyak 66.614 orang, disusul KEK Gresik dengan 41.022 orang, KEK Mandalika dengan 19.010 orang, KEK Nongsa dengan 6.925 orang dan KEK Industropolis Batang dengan 6.102 orang.

Ekonom dari CELIOS, Nailul Huda melihat pembangunan KEK harus didasarkan pada karakteristik daerah terkait. Hal ini agar nantinya KEK berdampak besar pada serapan tenaga kerja di daerah tersebut.

“Salah satunya terkait dengan pendidikan dan kesehatan. Pembangunan KEK harus dimulai dengan pembangunan sumber daya manusia terlebih dahulu agar adanya KEK bisa menyerap tenaga kerja terutama di lokal daerahnya,” kata Nailul.

Selain itu, agar KEK makin berdampak pada perekonomian dan serapan tenaga kerja di daerah, Nailul menuturkan hal yang harus diperhatikan adalah kepastian keamanan dari praktik premanisme agar investor tidak takut.

“Maka dari itu, ICOR Indonesia masih relatif tinggi. Banyak praktik korupsi, premanisme baik yang dilakukan penjahat berdasi dan tidak,” ujarnya.

Insentif Perlu Diperbaiki Agar Menarik Investor

Saat ini, Indonesia memang telah memberikan fasilitas insentif berupa tax holiday atau tax allowance, pembebasan PPN, bea masuk, serta insentif pajak daerah. Namun, skema ini masih lebih terbatas dibandingkan negara tetangga.

Thailand memberikan pemotongan pajak penghasilan badan hingga 20 persen, insentif khusus untuk industri 4.0, teknologi canggih, dan kontraktor R&D, serta tax allowance yang bisa membebaskan pajak hingga 10 tahun. Selain itu, ada Malaysia yang memberikan pembebasan pajak investasi antara 70 persen hingga 100 persen hingga 15 tahun, reinvestment allowance, serta fasilitas impor untuk sektor manufaktur.

Sementara itu, Vietnam juga menawarkan berbagai insentif seperti tarif pajak penghasilan badan 10 persen untuk proyek seumur hidup, tarif preferensial 10–17 persen hingga 15 tahun, tax holiday berupa pengurangan 50 persen pajak selama sembilan tahun serta pembebasan bea masuk dan bea cukai.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai insentif yang sudah ada sebenarnya sudah menarik. Namun, perbaikan masih perlu dilakukan agar investor bisa lebih tertarik bahkan memindahkan Foreign Direct Investment (FDI) ke Indonesia.

“Cukup menarik, tetapi perlu terus diperbaiki sehingga menjadi semakin menarik bagi investor FDI yang akan merelokasi FDI-nya dari negara lain, seperti Vietnam. aspek kepastian hukum, biaya logistik dan kualitas SDM merupakan area yang perlu terus diperbaiki,” kata Wijayanto.

Selain itu, Wijayanto juga menuturkan bahwa hal penting lainnya adalah memastikan adanya interkoneksi antara KEK dengan ekonomi domestik. Ia menuturkan kedua hal tersebut harus ada dalam satu jaringan rantai pasok.

Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, juga menilai saat ini insentif pemerintah untuk KEK sudah cukup agresif. Meski begitu, insentif saja disebut tak cukup.

“Investor asing, misalnya, biasanya juga melihat stabilitas regulasi, kepastian pasar, kualitas SDM, dan ketersediaan infrastruktur. Kalau faktor-faktor dasar itu belum kuat, insentif fiskal yang menarik pun sering kali tidak jadi pertimbangan utama,” ujar Yusuf.

Jika Indonesia ingin KEK benar-benar berdampak pada perekonomian nasional, Yusuf menilai pengembangan KEK juga harus sejalan dengan strategi industrialisasi nasional, terutama manufaktur.

Selain itu, infrastruktur dan konektivitas harus diperkuat supaya kawasan bisa lebih efisien dan terhubung dengan pasar. Hal penting lainnya adalah perlunya adanya integrasi yang lebih kuat antara KEK dengan ekonomi lokal seperti pelibatan UMKM dalam rantai pasok domestik.

“Terakhir, manajemen KEK harus ditingkatkan, karena pada akhirnya investor akan melihat seberapa profesional pengelola kawasan dalam menawarkan nilai tambah yang jelas,” kata Yusuf.