Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Paradigma Baru Kecerdasan Buatan Mira Murati

Featured Image

Visi Mira Murati dalam Dunia AI

Baru-baru ini, dunia kecerdasan buatan (AI) dihebohkan oleh berita yang mengejutkan. Mark Zuckerberg, CEO Meta, menawarkan 1 miliar dolar AS untuk mengakuisisi startup AI yang baru lahir, Thinking Machines Lab, dan merekrut timnya ke dalam proyek Superintelligence Lab milik Meta. Tawaran ini tidak hanya ditujukan kepada pendirinya, tetapi juga kepada belasan anggota timnya, dengan paket kompensasi mencapai ratusan juta hingga miliaran dolar AS per orang.

Namun, dalam keputusan yang mengejutkan, tidak satu pun dari mereka—termasuk pemimpinnya, Mira Murati—menerima tawaran tersebut. Mereka memilih visi jangka panjang, independensi, dan kepercayaan pada misi mereka untuk membangun AI yang berpusat pada kemanusiaan. Penolakan ini bukan sekadar soal uang; ini adalah pernyataan tegas bahwa masa depan AI harus dibentuk dengan nilai-nilai, bukan sekadar kekayaan.

Kisah ini adalah awal dari perjalanan Mira Murati, seorang visioner yang sedang mengubah lanskap kecerdasan buatan.

Latar Belakang dan Perjalanan Karier Mira Murati

Mira Murati, lahir sebagai Ermira Murati pada 16 Desember 1988, di Vlorë, Albania, adalah seorang insinyur dan eksekutif teknologi keturunan Albania-Amerika yang telah menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam dunia AI. Masa kecilnya di Albania, yang saat itu baru saja keluar dari era komunis dan menghadapi tantangan ekonomi, membentuk ketekunan dan semangatnya.

Berasal dari keluarga yang tidak kaya, Murati menunjukkan bakat luar biasa sejak dini, terutama dalam matematika, di mana ia aktif berkompetisi dalam olimpiade dan lomba akademik. Pada usia 16 tahun, ia memenangkan beasiswa United World Colleges (UWC) untuk belajar di Pearson College di Victoria, British Columbia, Kanada, dan lulus dengan gelar International Baccalaureate pada 2005.

Pendidikannya berlanjut di Amerika Serikat, di mana ia mengikuti program gelar ganda, memperoleh Bachelor of Arts di bidang Matematika dari Colby College pada 2011 dan Bachelor of Engineering dari Thayer School of Engineering, Dartmouth College, pada 2012.

Karier Murati dimulai dengan magang di Goldman Sachs (2011) dan Zodiac Aerospace (2012-2013), sebelum ia bergabung dengan Tesla pada 2013, sebagai Senior Product Manager untuk Model X, di mana ia terlibat dalam pengembangan awal teknologi autopilot. Pengalaman ini memicu ketertarikannya pada AI dan interaksi manusia-komputer.

Pada 2016, ia bergabung dengan Leap Motion sebagai Vice President of Product and Engineering, fokus pada teknologi augmented reality. Namun, puncak kariernya terjadi ketika ia bergabung dengan OpenAI pada 2018, sebagai Vice President of Applied AI and Partnerships. Ia naik pangkat menjadi Senior Vice President pada 2020 dan akhirnya menjadi Chief Technology Officer (CTO) pada Mei 2022.

Selama di OpenAI, Murati memimpin pengembangan teknologi revolusioner seperti ChatGPT, DALL-E, Codex, dan Sora, yang telah mengubah cara dunia berinteraksi dengan AI. Pada November 2023, ia sempat menjadi CEO interim OpenAI selama tiga hari setelah pemecatan Sam Altman, sebelum kembali ke posisi CTO hingga mengundurkan diri pada September 2024, untuk mengejar visinya sendiri.

Paradigma Baru dalam Pengembangan AI

Dalam wawancara yang dilakukan, Mira Murati memberikan arah penting dalam pergeseran paradigma AI. Pertama, mencapai AGI bukan hanya soal teknologi. Murati menekankan bahwa pengembangan AGI (sistem AI yang mampu melakukan tugas kognitif setara manusia) tidak hanya tentang meningkatkan kemampuan teknis, seperti ukuran model atau jumlah data. Penting juga untuk memastikan sistem ini aman dan selaras dengan nilai-nilai manusia. Selain itu, dibutuhkan infrastruktur sosial, seperti regulasi dan tata kelola, agar teknologi ini dapat diintegrasikan dengan baik ke dalam masyarakat.

Kedua, keamanan AI: Kemajuan dan tantangan. Murati mengakui bahwa OpenAI telah membuat kemajuan besar dalam keamanan praktis, seperti menangani misinformasi dan bias, yang didorong oleh dinamika pasar. Namun, ia menyoroti kurangnya perhatian pada penyelarasan teoretis dan tata kelola jangka panjang. Menurutnya, dunia belum siap untuk hidup berdampingan dengan sistem AGI karena regulasi dan infrastruktur sosial masih tertinggal.

Ketiga, kekhawatiran jangka pendek dan panjang. Murati lebih khawatir tentang ancaman jangka panjang AI, seperti risiko eksistensial, dibandingkan masalah jangka pendek seperti misinformasi. Ia percaya masalah jangka pendek dapat diatasi karena ada insentif pasar untuk memperbaikinya (misalnya, bisnis tidak ingin sistem AI yang tidak akurat). Namun, untuk jangka panjang, diperlukan lebih banyak diskusi tentang bagaimana AGI akan memengaruhi peradaban.

Keempat, transparansi dan literasi AI. Murati menyoroti pentingnya transparansi dan literasi AI. Banyak orang belum memahami cara kerja sistem AI, yang sering dianggap sebagai "kotak hitam." Ia mendorong investasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kemampuan dan batasan AI, sehingga mereka tahu kapan dan bagaimana mengendalikannya.

Kelima, halusinasi AI sebagai pedang bermata dua. Murati menjelaskan bahwa halusinasi (ketika AI menghasilkan informasi yang tidak akurat) adalah bagian dari sifat kreatif model AI. Meskipun ini berguna untuk menghasilkan ide-ide imajinatif, halusinasi bisa berbahaya dalam konteks yang membutuhkan akurasi tinggi, seperti hukum atau kedokteran. Teknik seperti pencarian dan kutipan sedang dikembangkan untuk mengurangi masalah ini, tetapi solusi lengkap belum ditemukan.

Keenam, masalah data dan hak kekayaan intelektual (IP). Murati membahas tantangan data pelatihan AI, termasuk isu hak cipta. Ia menyarankan pendekatan seperti data sintetis dan pembelajaran penguatan dengan umpan balik manusia untuk mengatasi keterbatasan data. Selain itu, ia mengusulkan inovasi dalam model bisnis untuk memastikan kontributor data mendapat manfaat, serta perlunya penelitian lebih lanjut tentang penggunaan data yang etis.

Ketujuh, masa depan dengan AGI bergantung pada kita. Murati optimistis bahwa AGI dapat membawa era kelimpahan, tetapi masa depan ini bergantung pada bagaimana kita mengelola perkembangannya. Ia menekankan pentingnya kerja sama kolektif, institusi, dan struktur yang tepat untuk memastikan AGI memberikan dampak positif. Menurutnya, fokus tidak boleh hanya pada individu atau perusahaan tertentu, tetapi pada ekosistem yang lebih luas.

Pendekatan Unik Thinking Machines Lab

Thinking Machines Lab (TML) dirancang untuk menantang model pengembangan AI yang tertutup (closed-source) yang dominan di industri saat ini. Dengan pendekatan yang berani dan inovatif, TML berupaya mengubah cara AI diciptakan dan digunakan.

Berikut adalah elemen-elemen kunci yang membedakan TML dari pemain lain:

  • Transparansi: TML mengadopsi metodologi penelitian dan pengembangan yang terbuka, memungkinkan komunitas ilmiah dan masyarakat luas untuk memahami cara kerja sistem AI mereka. Ini bertujuan mengatasi masalah “kotak hitam” yang sering dikritik dalam teknologi AI, di mana pengguna tidak tahu bagaimana keputusan dibuat.
  • Kustomisasi Pengguna: Berbeda dari model AI generik, TML fokus pada pengembangan sistem yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu. Misalnya, pengguna dapat menyesuaikan asisten AI sesuai preferensi pribadi, dari gaya komunikasi hingga fungsi spesifik.
  • Pengembangan AI yang Etis: TML memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan dan keamanan dalam setiap aspek pengembangan AI. Dengan mengutamakan etika, TML berupaya memastikan bahwa AI tidak hanya canggih tetapi juga mendukung kesejahteraan manusia dan mencegah dampak negatif seperti bias atau misinformasi.

Dengan tim beragam yang direkrut dari organisasi terkemuka seperti OpenAI, Meta, dan Mistral AI, TML memiliki fondasi kuat untuk mewujudkan visi ini. Penolakan tawaran 1 miliar dollar AS dari Meta pada Juli 2025, menegaskan komitmen Murati pada visi ini. Timnya, termasuk peneliti terkemuka seperti John Schulman dan Andrew Tulloch, memilih independensi dan potensi jangka panjang dari Thinking Machines Lab daripada godaan finansial dari raksasa teknologi.

Relevansi bagi Indonesia

Meskipun paradigma AI Murati menjanjikan, tantangan seperti biaya komputasi yang melonjak, regulasi global yang belum selaras, dan tekanan untuk tetap kompetitif di pasar AI yang didominasi raksasa teknologi akan menguji ketangguhan TML. Beberapa skeptis mempertanyakan apakah TML dapat bersaing dengan raksasa seperti Google atau menjaga independensi tanpa dukungan finansial besar. Namun, pendekatan inovatifnya telah menarik minat investor yang mendukung misi sosial.

Jika Thinking Machines Lab berhasil mewujudkan AI yang transparan, inklusif, dan bermanfaat, Murati tidak hanya akan mengubah lanskap teknologi, tetapi juga membuktikan bahwa AI dapat menjadi “kekuatan untuk kebaikan”, seperti yang ia nyatakan di World Economic Forum 2025: “AI tanpa nilai adalah kecerdasan tanpa hati nurani.”

Apakah pengembangan AI di Indonesia telah mengedepankan hati nurani? Atau secara tidak sadar malah meresonansikan AI yang memperkuat dominasi para super kaya global ketimbang yang menyejahterakan wong cilik?

Sudah saatnya mungkin kita berkirim pesan ke Murati dan TML, ‘kami siap bergabung membangun AI yang semakin memanusiakan manusia bersama Anda’.